UPACARA DAN PERTUNJUKANNYA
Sulawesi Selatan dengan segala kearifan lokal yang dimiliki dan sumber daya manusianya menjadikannya sebagai salah satu provinsi yang patut untuk dipertimbangkan di kancah Nasional, dengan ragam adat istiadat, budaya dan seni yang dimiliki masing-masing daerah yang ada di Sulsel.
Kkesenian Sulawesi Selatan dikenal sebagai kebudayaan tinggi dalam konteks kekinian. Karena pada dasarnya seni tidak hanya menyentuh beberapa aspek kehidupan tetapi lebih dari itu dia mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap lingkungan sekitar dan psikologis. Hal ini tentunya tidak terlepas dari peran dan sejauh mana masyarakat mampu mengapresiasi dan menginterpretasikan hasil seni dan budaya yang ada.
Berbicara mengenai kebudayaan Sulawesi
Selatan berarti mengenal adat kebudayaan yang ada di seluruh daerah Sulawesi
Selatan.
Di Sulsel terdapat banyak etnis dan suku
tapi yang paling mayoritas adalah Suku Makassar, Bugis dan Toraja. Demikian
juga dalam pemakaian bahasa sehari-hari, ketiga etnis tersebut lebih dominan.
Bahkan Kebudayaan yang paling terkenal hingga keluar negeri ialah Budaya dan
adat Tana Toraja yang khas dan menarik.
Selain itu, untuk rumah adat di Sulsel
yang berasal dari ketiga daerah Makassar, Bugis dan Tana Toraja memiliki
arsitektur yang hampir sama bentuknya. Rumah-rumah tersebut dibangun di atas
tiang-tiang sehingga rumah adat yang ada memiliki kolong dibawahnya.
Ada juga kesenian daerah lainnya yang
sering dipentaskan pada acara tertentu, yakni Tari Pakarena dan Tari Empat
Etnis yang menunjukkan keberagaman etnis budaya Makassar, Bugis, Toraja dan
Mandar di Sulawesi Selatan yang merupakan Tari Tradisional.
*Upacara dan
pertujunkannya
1. Rambu Tuka' (Toraja)
Raumbu tuka adalah salah satu
upacara adat Sulawesi Selatan yang digelar oleh masyarakat Suku Toraja. Upacara
adat ini bermakna sebagai ungkapan rasa syukur atau suka cita. Biasanya,
upacara ini akan diadakan untuk syukuran rumah, hasil panen yang melimpah dan
baik, maupun ungkapan kegembiraan lainnya.
Uniknya, upacara ini diyakini sudah
berlangsung bersamaan dengan kedatangan manusia di Bumi, Saat perayaan upacara
ini, ada berbagai persembahan yang diberikan oleh masyarakat kepada para dewa
dan leluhur. Berbagai persembahan yang dipersembahkan kepada para leluhur
bermakna sebagai permohonan agar mendapatkan berkat dan berbagai kebutuhan
hidup di dunia.
2. Ma'nen'e (Toraja)
Selain rambu tuka', upacara adat
Sulawesi Selatan yang juga diadakan oleh masyarakat Suku Toraja adalah
Ma'nen'e. Upacara Ma'nen'e ini dilakukan sebagai tanda untuk menghargai para leluhur
yang sudah meninggal.
Upacara adat ini dilakukan dengan
cara orang akan melakukan ziarah atau mengunjungi makam leluhur dan mengganti
pakaian serta sarung yang digunakan oleh jenazah leluhur yang sudah meninggal. Setelah
pakaian dan sarungnya diganti, jenazah leluhur ini akan dijemur selama beberapa
saat, kemudian dimasukkan lagi ke dalam peti.
Makna dari upacara adat Sulawesi
Selatan Ma'nen'e ini sendiri adalah untuk menghargai dan mengingat kembali para
leluhur yang sudah meninggal.
3. Accera Kalompoang (Gowa)
Gowa juga memiliki upacara adat,
yaitu Accera Kalompoang, yang diadakan setiap hari raya Iduladha. Tujuan dari
upacara ini adalah sebagai persembahan untuk Kerajaan Gowa dan diadakan selama
dua hari berturut-turut.
Dalam upacara adat Sulawesi Selatan
ini, ditandai dengan kerbau yang disembelih, juga pemanggilan leluhur. Pada
hari kedua, upacara dilakukan dengan mengambil air dari sebuah sumur yang ada
di Katangka, Gowa dan air ini kemudian diarak oleh masyarakat sekitar yang
memakai pakaian adat.
4. Rambu Solo (Toraja)
Kalau Ma'nen'e adalah upacara untuk
mengenang para leluhur, maka upacara adat Sulawesi Selatan bernama Rambu Solo
yang berasal dari Toraja ini adalah upacara pemakaman yang dilakukan secara
adat.
Pada upacara ini, maka keluarga orang
yang meninggal akan melakukan penghorman terakhir kepada orang yang sudah
meninggal. Dalam bahasa Toraja, kata rambu solo berarti asap yang mengarah ke
bawah. Uniknya, upacara Rambu Solo ini diadakan saat matahari terbenam, karena
rambu solo terdiri dari tiga kata, yaitu aluk atau keyakinan, dan rambu yang
berarti asap atau sinar, dan turun. Saat menggelar upacara Rambu Solo, orang
yang datang ke upacara itu akan memberikan kerbau atau babi kepada keluarga
yang berduka, sebagai tanda ikatan darah.
Sebagai bentuk dukungan atas nilai
kebudayaan dan kesenian yang dimiliki Sulawesi Selatan, Kota Makassar sebagai
ibu Kota Provinsi mencanangkan tanggal 1 April 2019 lalu, sebagai Hari
Kebudayaan Kota Makassar dengan menampilkan sejumlah Kesenian dan Kebudayaan
Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya dengan melibatkan masyarakat secara
langsung melalui berbagai kegiatan, dengan harapan menumbuhkan minat dan
apresiasi masyarakat terhadapt Seni dan Budaya Lokal melalui salah satu
kalender Tahunan tersebut.
*Rumah adat Sulawesi serta filosfinya
1. Tongkonan
Rumah adat ini milik suku Toraja.
Tongkonan adalah yang paling menonjol dari semua rumah adat yang ada di
Sulawesi Selatan. Karakteristik konstruksi bangunannya berbeda. Karena selain
untuk tempat tinggal, Tongkonan juga dijadikan sebagai tempat upacara untuk
perkawinan atau kematian.
Tongkonan berdiri di atas tumpukan kayu
dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Setiap guratan ukiran pada
kayu ternyata memiliki nilai magis bagi pemiliknya. Bentuknya terlihat seperti
rumah panggung yang dilapisi ijuk hitam yang melengkung, bak perahu yang
terbalik. Sementara di depannya terdapat tanduk kerbau. Semakin banyak tanduk,
maka semakin menonjolkan kasta si pemilik Tongkonan.
2. Langkanae
Langkanae adalah rumah adat suku Luwuk.
Dulunya merupakan rumah dari para Raja-raja Luwu. Keunikan Langkanae karena
dibangun dengan 88 tiang berbahan utama kayu. Ukuran atapnya juga lebih besar
dibandingkan badan rumah. Rumah adat ini terdiri dari 3 ruangan dengan fungsi yang
berbeda-beda. Setiap ornamennya menjadi pembeda untuk setiap kelas sosial.
Ruangan pertama diberi nama tudang
sipulung dengan ukuran luas untuk menampung tamu. Kemudian, ruang tengah
sebagai tempat privasi keluarga dan beristirahat. Pada ruang ketiga atau ruang
belakang, terdiri dari dua kamar dengan ukuran kecil.
Ornamen rumah adat Luwuk juga disebut
dengan bunga prengreng. Bunga ini melambangkan filosofi hidup yang menjalar
sulur. Artinya hidup tidak terputus-putus.
3. Saoraja atau Bola
Suku Bugis dan Makassar sering
digabungkan karena memiliki kesamaan budaya antara keduanya. Kedua suku ini
sebenarnya serupa tapi tak sama. Rumah Bugis terdiri dari dua jenis. Tergantung
status sosial orang yang tinggal di rumah itu. Rumah Saoraja (Sallasa) untuk
keturunan raja atau kaum bangsawan. Sedangkan Bola untuk masyarakat biasa.
Karateristik rumah adat ini memiliki
ciri khas atap yang berbentuk pelana dan memiliki timpalaja. Selain dipengaruhi
oleh budaya tradisional, pembangunan rumah adat suku Bugis juga dipengaruhi
oleh agama Islam. Timpalaja atau disebut gevel (gable) merupakan bidang
segitiga antara dinding dan pertemuan atap. Rumah adat Bugis sangat kaya akan
filosofi. Tiap bagiannya punya makna tersendiri.
Pada sisi Bonting langiq, merupakan
bagian atap rumah yang diberi rongga. Ini adalah lambang perkawinan di atas
langit, yang dilakukan We Tenriabeng, saudari kembar Sawerigading yang
merupakan permaisuri dari Remmang ri Langi alias Hutontalangi (Raja pertama
Gorontalo).
Kemudian, Ale Kawaq adalah bagian tengah
atau area pemilik rumah untuk tinggal. Bagian ini menggambarkan kondisi dari
bumi pertiwi. Sisi Buri Liu adalah bagian bawah atau kolong rumah sebagai
tempat peliharaan hewan atau alat pertanian. Area ini melambangkan dunia bawah
tanah dan laut.
4. Balla
Balla adalah rumah adat suku Makassar.
Bentukannya hampir mirip dengan rumah adat Bugis. Dahulu rumah adat ini identik
dengan rumah para bangsawan. Karateristik bangunannya berbentuk panggung. Rumah
ini memiliki tinggi sekitar 3 meter di atas tanah dan disangga oleh kayu yang
jumlahnya 10 tiang. 5 penyangga ke arah belakang dan 5 penyangga ke arah
samping. Dulunya, rumah adat ini juga menggunakan atap yang terbuat dari
bahan-bahan alam seperti rumbia atau nipah. Namun seiring perkembangan zaman,
atap yang digunakan adalah seng atau genteng yang terbuat dari tanah liat.
Dalam arsitekturnya, rumah ini terbagi menjadi tiga yaitu bagian atap, inti
rumah, dan kolong. Pada ruang teras disebut Dego-dego dan ruang tamu disebut
Paddaserang Dallekang, terletak setelah pintu masuk.
Balla juga memiliki makna filosofis dalam arsitekturnya. Misalnya, di puncak atap terdapat segitiga yang disebut timbaksela. Simbol khusus ini menunjukkan kebangsawanan orang yang tinggal di rumah tersebut. Timbaksela yang disusun tiga atau lebih menunjukkan bangsawan, sedangkan segitiga yang tidak memiliki susunan adalah tanda masyarakat biasa.
5. Boyang
Rumah adat suku Mandar ini disebut
Boyang. Dulunya, suku Mandar mendiami Sulawesi Selatan. Kini menjadi bagian
dari Sulawesi Barat. Sama seperti Balla, Boyang juga berbentuk rumah panggung.
Sementara, ada dua tangga yang terletak di bagian depan dan belakang rumah.
Jumlahnya juga harus ganjil, antara 7 hingga 13 anakan.
Uniknya, tiang-tiang penyangga tersebut
tidak ditancapkan ke tanah, tetapi hanya ditumpangkan ke sebuah batu datar
untuk mencegah kayu lapuk. Sementara, dinding rumah biasanya menggunakan papan
yang telah diukir sesuai dengan motif khas suku Mandar. Boyang juga ada dua
jenis. Adaq dan Beasa. Adaq merupakan tempat tinggal bagi para bangsawan,
sedangkan Beasa diperuntukkan untuk masyarakat biasa.
Rumah Boyang Adaq biasanya diberikan
ornamen yang melambangkan identitas tertentu untuk mendukung tingkat sosial
penghuninya. Rumah ini memiliki penutup bubungan. Semakin banyak susunannya,
berarti semakin tinggi derajat kebangsawanannya. Sementara, warna rumah
kebanyakan menggunakan warna gelap.
Writer : Rama Riswalinda Ramadhan/152010683048
Komentar
Posting Komentar